Isu mengenai etika penelitian internasional kembali menjadi perhatian setelah netizen dan Anies menyoroti publikasi University of Oxford yang dinilai tidak memberikan ruang apresiasi bagi ilmuwan Indonesia. Kasus ini bermula dari unggahan Oxford yang menampilkan proses penemuan Rafflesia hasseltii, namun dalam narasi publikasi tersebut tidak terlihat penyebutan kontribusi para peneliti Indonesia yang bekerja langsung di lapangan. Bagi netizen dan Anies, peristiwa ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan tanda bahwa pengakuan terhadap pengetahuan lokal masih belum ditempatkan secara setara dalam kolaborasi akademik global.
Kritik Netizen dan Anies Mencuat
Gelombang reaksi dari netizen muncul seketika setelah unggahan Oxford beredar. Banyak yang mempertanyakan mengapa peneliti Indonesia yang berperan besar dalam proses eksplorasi justru tidak disebutkan dalam narasi resmi. Komentar-komentar di media sosial menuding bahwa kerja keras para ahli lokal seolah “diambil alih” oleh narasi luar negeri yang menempatkan institusi asing sebagai pemeran utama.
Anies turut menguatkan suara publik dengan mengirim kritik terbuka yang menegaskan bahwa ilmuwan Indonesia tidak seharusnya diperlakukan seperti karakter sampingan dalam penelitian yang dilakukan di tanah mereka sendiri. Baginya, penjelajah hutan, pemandu lokal, dan ilmuwan Indonesia merupakan pilar penting dalam riset flora langka seperti Rafflesia hasseltii. Ketika nama mereka tidak dicantumkan, hal itu mencerminkan masalah mendasar mengenai penghargaan akademik.
Konteks Lapangan yang Tidak Sederhana
Riset mengenai Rafflesia hasseltii berlangsung di medan yang sangat sulit dijangkau. Bunga parasit tersebut tumbuh jauh di pedalaman hutan tropis, sehingga aksesnya memerlukan pengalaman lokal, pemahaman kondisi hutan, serta pengetahuan ekosistem yang mendalam. Di sinilah kontribusi ilmuwan Indonesia menjadi sangat vital.
Para peneliti lokal telah bertahun-tahun memetakan titik pertumbuhan bunga, mengamati musim mekarnya, dan mengumpulkan data biologis yang tidak mungkin diperoleh tanpa pengalaman langsung. Netizen dan Anies memandang bahwa upaya bertahun-tahun tersebut justru tidak terlihat dalam narasi Oxford, walaupun perjuangan lokal menjadi fondasi utama keberhasilan ekspedisi.
Parachute Science yang Masih Terjadi
Dalam kritiknya, Anies menyinggung istilah “parachute science”, yaitu praktik ketika ilmuwan dari negara maju datang ke negara berkembang untuk melakukan penelitian, menggunakan pengetahuan lokal, namun kemudian mempublikasikan hasilnya tanpa memberi kredit setara kepada peneliti setempat.
Menurut banyak netizen, pola seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Indonesia sebagai negara megabiodiversitas sering menjadi lokasi riset internasional, tetapi ilmuwannya tidak selalu mendapatkan panggung yang adil dalam publikasi ilmiah. Kritik dari netizen dan Anies menguatkan pandangan bahwa praktik semacam itu tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.
Dampak Besar bagi Karier Ilmuwan Lokal
Dalam dunia akademik, rekam jejak ilmiah merupakan aset paling berharga. Nama yang tercantum dalam publikasi menentukan reputasi, peluang kerja sama, dan akses terhadap pendanaan penelitian. Karena itu, ketika ilmuwan Indonesia tidak diakui dalam riset yang mereka dukung secara langsung, dampaknya sangat serius.
Netizen dan Anies menilai bahwa hilangnya nama peneliti lokal dalam publikasi internasional dapat menghambat karier mereka secara signifikan. Tanpa pengakuan resmi, kredibilitas dan kontribusi ilmiah mereka menjadi tidak terlihat di mata komunitas global, meskipun kerja keras mereka justru menjadi fondasi riset tersebut.
Dorongan untuk Etika Riset yang Lebih Transparan
Kritik yang disuarakan oleh netizen dan Anies bukanlah bentuk penolakan terhadap kolaborasi internasional. Sebaliknya, mereka mendorong adanya praktik ilmiah yang lebih transparan dan etis. Pengakuan terhadap peneliti lokal bukan sekadar bentuk apresiasi, tetapi standar moral dalam dunia akademik.
Anies bahkan mengajak institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset di Indonesia untuk memperketat aturan kolaborasi, termasuk menetapkan perjanjian tertulis mengenai kepemilikan data, pembagian kontribusi, serta penentuan penulis dalam publikasi. Dengan adanya pedoman yang jelas, kasus serupa dapat dicegah di masa depan.
Momentum Perubahan
Di kalangan netizen, kasus ini memunculkan kesadaran baru mengenai pentingnya perlindungan terhadap martabat dan posisi ilmuwan Indonesia. Banyak yang berharap bahwa dengan kritik yang disampaikan secara tegas oleh netizen dan Anies, lembaga riset internasional akan lebih berhati-hati dalam menggambarkan kontribusi lokal.
Selain itu, publik menilai bahwa pemerintah perlu memperkuat pendanaan riset, fasilitas laboratorium, dan pelatihan publikasi akademik agar ilmuwan Indonesia semakin siap mengambil posisi sebagai pemimpin proyek internasional, bukan hanya sebagai pendukung lapangan.
Sorotan netizen dan Anies terhadap Oxford menegaskan bahwa Indonesia memiliki peneliti-peneliti hebat yang kontribusinya tidak boleh dianggap remeh. Dengan meningkatnya kesadaran publik dan tekanan moral dari masyarakat, semoga kolaborasi riset di masa mendatang dapat berjalan lebih adil, setara, dan menghargai setiap pihak yang berperan.